Minggu, 17 November 2013

SYIRKAH



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Manusia di kenal sebagai mahluk sosial, artinya manusia selalu berinteraksi dan tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, manusia tidak akan terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Terkait hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah dengan pihak lain.
Syirkah dalam bahasa Indonesia berarti kerja sama, dan hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan, hal ini berdasarkan dalil Hadist Nabi Shalallahu alaihiwasalam berupa pengakuan beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara bersyirkah dan Nabi Shalallahu alaihiwasalam membenarkannya..
Berdasarkan hadist tersebut artinya manusia di perbolehkan untuk mengadakan kerja sama, baik dalam pekerjaan maupun dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Selain membantu dalam pemenuhan kebutuhan hidup, syirkah juga membantu manusia untuk saling bersilaturahmi, tolong-menolong dan saling membantu sesama. Sehingga bisa terwujud rasa persatuan.
Terdapat beberapa macam bentuk syirkah, dan di dalam melakukan kerja sama tersebut terdapat hukum dan aturan-aturan yang berlaku agar kedua belah pihak tidak ada yang di rugikan. Macam-macam syirkah dan aturan-aturan yang belaku dalam syirkah tersebut akan kami bahas dalam makalah ini agar mahasiswa lebih memahami dan mengerti tentang syirkah.
 1.2 Rumusan Masalah
Apa pengertian, hukum, rukun, dan macam-macam syirkah ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat[1].
Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya[2].
Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan[3].
Secara istilah, yang dimaksud dengan syirkah menurut para fukaha adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Malikiyah
Syirkah ialah izin untuk mendayagunakan (tasharuf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharuf.

2.      Menurut Sayyid Sabiq
Syirkah adalah akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.

3.      Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib
Syirkah adalah ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyur (diketahui)

4.      Menurut Syihab al-Dina al-Qalyubi wa Umaira
Syirkah adalah penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.

5.      Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
Akad yang berlaku pada dua orang atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya.

6.      Menurut Idris Ahmad
Syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.

B.     Hukum Dan Rukun Syirkah
a.      Hukum syirkah
1.      Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala:
tA$s% ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ߊ¼ãr#yŠ $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm­/u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ
 Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24).
 Dan firman-Nya pula:Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12). Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).

2.      Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).

3.      Ijma’:
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi syirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.”[4] (Al-Mughni V/109).

b.      Rukun syirkah
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1.      akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2.      dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3.      obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup  pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)[5].

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1.      obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2.      obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha)[6]

C.    Macam-Macam Syirkah
           Syirkah ada dua jenis:
1.       Syirkah Amlaak (Hak Milik)
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya[7].
 Misalnya; si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.[8]

2.       Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.

Macam-macam Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah: yaitu:
1.      Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat[9].
 Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd), sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah)."[10]

2.      Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya)[11].
 Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal, Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.[12] tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah[13].
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, "Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun." [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau[14].

3.      Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl)[15].
Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh[16]. Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah[17]. Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil).
Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya[18]. Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal[19].

4.      Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam[20]. Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya[21].
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak[22].
Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan[23].
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam[24].
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan[25].
5.      Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh)[26]. Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah.
Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.[27]

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdân, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang telah ditetapkan[28].

D.    Mengakhiri Syirkah
Hendi Suhendi menjelaskan, bahwa syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
1.      Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak lainnya, sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi.
2.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk ber-tasharruf, baik karena gila maupun karena alasan lain.
3.      Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja.
4.      Salah satu piahk dibawah pengampunan.
5.      Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak kuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah.
6.      Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atau nama syirkah.

E.     Hikmah Syirkah
Terdapat beberapa hikmah syirkah yaitu sebagai berikut:
1.      Dapat menyambung silaturahmi, dengan bersyirkah dapat memperbaiki dan menjalin silaturrahmi sesama manusia dengan baik karena kerja sama tanpa silaturrahmi yang baik tidak akan berhasil.
2.      Menciptakan rasa saling tolong-menolong, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain, dengan syirkah dapat saling membantu dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup.
3.      Membantu dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
4.      Menciptakan rasa persatuan.
BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil dari makalah fiqih tentang syirkah adalah sebagai berikut:
1.      Syirkah merupakan suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan, dengan kata lain melakukan suatu kerja sama.
2.      Syirkah di bagi menjadi beberapa jenis yaitu syirkah amlaak dan syirkah uquud, syirkah ukuud di bagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadah.
3.      Hikmah mengadakan syirkah yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup, menciptakan rasa saling tolong-menolong, persatuan dan menyambung tali silaturrahmi.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm.  Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.

Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.


[1] Kamus Al-Munawwir, hlm. 765.
[2] An-Nabhani, Taqiyuddin. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, Cetakan IV, (Beirut: Darul Ummah, 1990) hlm.146
[3] Ibid.
[4] (Al-Mughni V/109).
[5] Al-Khayyath, Abdul Aziz. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. (Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.1982) hlm. 76
[6]  An-Nabani, Loc., Cit
[7] Syaikh Abdullah Al-Bassam, Taudhihul Ahkam, (Bogor : Gahlia Indah, 2003)  hlm. 601.
[8] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr, 1984), hlm. 794
[9]  An-Nabhani, Op., Cit., hlm 148
[10] Ibid. hlm 151
[11] Al-Khayyath, Abdul Aziz , Op., Cit., hlm. 35
[12] An-Nabhani, Op., Cit., hlm 150
[13] Ibid., hlm. 151
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm.152
[16] Wahbah Az-Zuhaili, Op., Cit, hlm. 836
[17] An-Nabhani, Op., Cit., hlm. 152
[18] Ibid.
[19] Al-Khayyath, Abdul Aziz, Op., Cit., hlm. 66
[20] Ibid., hlm. 49
[21] An-Nabhani, Op., Cit., hlm. 154
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 155-156
[26] Al-Khayyath, Op., Cit., hlm. 25
[27] Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011)
[28] Wahbah Az-Zuhaili, Op., Cit., hlm. 795


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Manusia di kenal sebagai mahluk sosial, artinya manusia selalu berinteraksi dan tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, manusia tidak akan terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Terkait hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah dengan pihak lain.
Syirkah dalam bahasa Indonesia berarti kerja sama, dan hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan, hal ini berdasarkan dalil Hadist Nabi Shalallahu alaihiwasalam berupa pengakuan beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara bersyirkah dan Nabi Shalallahu alaihiwasalam membenarkannya..
Berdasarkan hadist tersebut artinya manusia di perbolehkan untuk mengadakan kerja sama, baik dalam pekerjaan maupun dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Selain membantu dalam pemenuhan kebutuhan hidup, syirkah juga membantu manusia untuk saling bersilaturahmi, tolong-menolong dan saling membantu sesama. Sehingga bisa terwujud rasa persatuan.
Terdapat beberapa macam bentuk syirkah, dan di dalam melakukan kerja sama tersebut terdapat hukum dan aturan-aturan yang berlaku agar kedua belah pihak tidak ada yang di rugikan. Macam-macam syirkah dan aturan-aturan yang belaku dalam syirkah tersebut akan kami bahas dalam makalah ini agar mahasiswa lebih memahami dan mengerti tentang syirkah.
 1.2 Rumusan Masalah
Apa pengertian, hukum, rukun, dan macam-macam syirkah ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat[1].
Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya[2].
Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan[3].
Secara istilah, yang dimaksud dengan syirkah menurut para fukaha adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Malikiyah
Syirkah ialah izin untuk mendayagunakan (tasharuf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharuf.

2.      Menurut Sayyid Sabiq
Syirkah adalah akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.

3.      Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib
Syirkah adalah ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyur (diketahui)

4.      Menurut Syihab al-Dina al-Qalyubi wa Umaira
Syirkah adalah penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.

5.      Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
Akad yang berlaku pada dua orang atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya.

6.      Menurut Idris Ahmad
Syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.

B.     Hukum Dan Rukun Syirkah
a.      Hukum syirkah
1.      Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala:
tA$s% ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ߊ¼ãr#yŠ $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm­/u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ
 Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24).
 Dan firman-Nya pula:Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12). Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).

2.      Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).

3.      Ijma’:
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi syirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.”[4] (Al-Mughni V/109).

b.      Rukun syirkah
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1.      akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2.      dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3.      obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup  pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)[5].

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1.      obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2.      obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha)[6]

C.    Macam-Macam Syirkah
           Syirkah ada dua jenis:
1.       Syirkah Amlaak (Hak Milik)
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya[7].
 Misalnya; si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.[8]

2.       Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.

Macam-macam Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah: yaitu:
1.      Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat[9].
 Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd), sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah)."[10]

2.      Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya)[11].
 Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal, Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.[12] tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah[13].
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, "Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun." [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau[14].

3.      Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl)[15].
Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh[16]. Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah[17]. Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil).
Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya[18]. Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal[19].

4.      Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam[20]. Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya[21].
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak[22].
Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan[23].
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam[24].
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan[25].
5.      Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh)[26]. Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah.
Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.[27]

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdân, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang telah ditetapkan[28].

D.    Mengakhiri Syirkah
Hendi Suhendi menjelaskan, bahwa syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
1.      Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak lainnya, sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi.
2.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk ber-tasharruf, baik karena gila maupun karena alasan lain.
3.      Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja.
4.      Salah satu piahk dibawah pengampunan.
5.      Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak kuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah.
6.      Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atau nama syirkah.

E.     Hikmah Syirkah
Terdapat beberapa hikmah syirkah yaitu sebagai berikut:
1.      Dapat menyambung silaturahmi, dengan bersyirkah dapat memperbaiki dan menjalin silaturrahmi sesama manusia dengan baik karena kerja sama tanpa silaturrahmi yang baik tidak akan berhasil.
2.      Menciptakan rasa saling tolong-menolong, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain, dengan syirkah dapat saling membantu dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup.
3.      Membantu dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
4.      Menciptakan rasa persatuan.
BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil dari makalah fiqih tentang syirkah adalah sebagai berikut:
1.      Syirkah merupakan suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan, dengan kata lain melakukan suatu kerja sama.
2.      Syirkah di bagi menjadi beberapa jenis yaitu syirkah amlaak dan syirkah uquud, syirkah ukuud di bagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadah.
3.      Hikmah mengadakan syirkah yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup, menciptakan rasa saling tolong-menolong, persatuan dan menyambung tali silaturrahmi.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm.  Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.

Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.


[1] Kamus Al-Munawwir, hlm. 765.
[2] An-Nabhani, Taqiyuddin. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, Cetakan IV, (Beirut: Darul Ummah, 1990) hlm.146
[3] Ibid.
[4] (Al-Mughni V/109).
[5] Al-Khayyath, Abdul Aziz. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. (Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.1982) hlm. 76
[6]  An-Nabani, Loc., Cit
[7] Syaikh Abdullah Al-Bassam, Taudhihul Ahkam, (Bogor : Gahlia Indah, 2003)  hlm. 601.
[8] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr, 1984), hlm. 794
[9]  An-Nabhani, Op., Cit., hlm 148
[10] Ibid. hlm 151
[11] Al-Khayyath, Abdul Aziz , Op., Cit., hlm. 35
[12] An-Nabhani, Op., Cit., hlm 150
[13] Ibid., hlm. 151
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm.152
[16] Wahbah Az-Zuhaili, Op., Cit, hlm. 836
[17] An-Nabhani, Op., Cit., hlm. 152
[18] Ibid.
[19] Al-Khayyath, Abdul Aziz, Op., Cit., hlm. 66
[20] Ibid., hlm. 49
[21] An-Nabhani, Op., Cit., hlm. 154
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 155-156
[26] Al-Khayyath, Op., Cit., hlm. 25
[27] Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011)
[28] Wahbah Az-Zuhaili, Op., Cit., hlm. 795