BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Manusia di kenal
sebagai mahluk sosial, artinya manusia selalu berinteraksi dan tidak bisa hidup
sendiri-sendiri. Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, manusia tidak akan terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia.
Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat
terpenuhi. Terkait hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap
sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah
dengan pihak lain.
Syirkah dalam
bahasa Indonesia berarti kerja sama, dan hukumnya adalah mubah atau
diperbolehkan, hal ini berdasarkan dalil Hadist Nabi Shalallahu alaihiwasalam
berupa pengakuan beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi,
orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara bersyirkah dan Nabi
Shalallahu alaihiwasalam membenarkannya..
Berdasarkan hadist tersebut
artinya manusia di perbolehkan untuk mengadakan kerja sama, baik dalam
pekerjaan maupun dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Selain membantu dalam
pemenuhan kebutuhan hidup, syirkah juga membantu manusia untuk saling
bersilaturahmi, tolong-menolong dan saling membantu sesama. Sehingga bisa
terwujud rasa persatuan.
Terdapat beberapa macam bentuk
syirkah, dan di dalam melakukan kerja sama tersebut terdapat hukum dan
aturan-aturan yang berlaku agar kedua belah pihak tidak ada yang di rugikan.
Macam-macam syirkah dan aturan-aturan yang belaku dalam syirkah tersebut akan
kami bahas dalam makalah ini agar mahasiswa lebih memahami dan mengerti tentang
syirkah.
1.2 Rumusan Masalah
Apa pengertian, hukum, rukun, dan macam-macam syirkah
?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari
kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’),
syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar);
artinya menjadi sekutu atau serikat[1].
Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga
dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ
al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis),
syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa
sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya[2].
Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah
suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan[3].
Secara istilah, yang dimaksud
dengan syirkah menurut para fukaha adalah sebagai berikut:
1. Menurut Malikiyah
Syirkah ialah izin untuk
mendayagunakan (tasharuf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama
oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk
mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk
bertasharuf.
2. Menurut Sayyid Sabiq
Syirkah adalah akad antara dua
orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
3. Menurut Muhammad al-Syarbini
al-Khatib
Syirkah adalah ketetapan hak pada
sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyur (diketahui)
4. Menurut Syihab al-Dina al-Qalyubi
wa Umaira
Syirkah adalah penetapan hak pada
sesuatu bagi dua orang atau lebih.
5. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
Akad yang berlaku pada dua orang
atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi
keuntungannya.
6. Menurut Idris Ahmad
Syirkah sama dengan syarikat
dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam
dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, keuntungan dan kerugiannya
diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.
B. Hukum Dan Rukun Syirkah
a.
Hukum
syirkah
1.
Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala:
tA$s% ô‰s)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4’n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# ‘Éóö6u‹s9 öNåkÝÕ÷èt/ 4’n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@‹Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ߊ¼ãr#yŠ $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó™$$sù ¼çm/u‘ §yzur $YèÏ.#u‘ z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ
“Dan Sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24).
Dan firman-Nya pula: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS.
An-Nisa’: 12). Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’
ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat
Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2.
Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku
keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
3.
Ijma’:
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap
legitimasi syirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat
dalam beberapa elemen darinya.”[4]
(Al-Mughni V/109).
b. Rukun syirkah
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1.
akad (ijab-kabul),
disebut juga shighat;
2.
dua pihak yang
berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3.
obyek akad (mahal),
disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)[5].
Adapun syarat sah akad ada
2 (dua) yaitu:
1.
obyek akadnya
berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan
akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2.
obyek akadnya
dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama
di antara para syarîk (mitra usaha)[6]
C.
Macam-Macam
Syirkah
Syirkah ada dua jenis:
1.
Syirkah Amlaak (Hak Milik)
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang
bergerak atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang
dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam
bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik
bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya[7].
Misalnya; si A dan si B diberi wasiat atau hadiah
berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya
dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka
berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.[8]
2.
Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah
seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah
seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah
dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik
barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang
yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-macam Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama
fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima
macam syarikah: yaitu:
1.
Syirkah
Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah
ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat[9].
Contoh syirkah
inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam
syirkah tersebut. Dalam syirkah
ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd), sedangkan barang (‘urûdh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika
barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi
modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing
menanggung kerugian sebesar 50%.
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’,
bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas
besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak
yang bersyirkah)."[10]
2.
Syirkah
‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa
konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja
pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti
pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya)[11].
Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal, Contohnya: A dan B. keduanya
adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat
pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A
mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau
keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan
terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa
pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.[12] tidak boleh berupa
pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan
(celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi
berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di
antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah
‘abdan hukumnya boleh berdasarkan
dalil as-Sunnah[13].
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, "Aku pernah berserikat dengan
Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada
Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak
membawa apa pun." [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau
membenarkannya dengan taqrîr beliau[14].
3.
Syirkah
Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan
pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl)[15].
Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak,
sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh[16]. Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb
al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak
sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan
umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah
mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama
memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan
konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A)
memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua
(misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua
bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah[17]. Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan
dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat Dalam syirkah ini,
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil).
Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.
Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh
pemodal. Jika ada keuntungan, ia
dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan
kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku
hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung
kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya[18]. Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika
kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat
yang ditetapkan oleh pemodal[19].
4.
Syirkah
Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam[20]. Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada
kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal
A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan
pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam
hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah
mudhârabah padanya[21].
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli
secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa
konstribusi modal dari masing-masing pihak[22].
Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya
pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang
dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing
memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan
keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C
(pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan
yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah
‘abdan[23].
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh,
karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan
bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah
‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam[24].
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan
bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah
kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di
masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur,
atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah
wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para
pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah)
yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan[25].
5.
Syirkah
Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah,
dan wujûh)[26]. Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah
boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah
pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya;
yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah
inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah),
atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada
B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa
masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk
berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah
‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan
memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan
C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah.
Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C
sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah
inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh
antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan
semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.[27]
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat
macam, yaitu: syirkah inân, abdân, mudhârabah, dan wujûh.
Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân,
abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah,
yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut
Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang
telah ditetapkan[28].
D.
Mengakhiri Syirkah
Hendi Suhendi menjelaskan, bahwa syirkah akan
berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
1.
Salah satu
pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak lainnya, sebab syirkah
adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang
tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak
menginginkannya lagi.
2.
Salah satu
pihak kehilangan kecakapan untuk ber-tasharruf, baik karena gila maupun karena
alasan lain.
3.
Salah satu
pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang,
yang batal hanyalah yang meninggal saja.
4.
Salah satu
piahk dibawah pengampunan.
5.
Salah satu
pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak kuasa lagi atas harta yang menjadi
saham syirkah.
6.
Modal para
anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atau nama syirkah.
E.
Hikmah Syirkah
Terdapat beberapa hikmah syirkah yaitu sebagai
berikut:
1.
Dapat
menyambung silaturahmi, dengan bersyirkah dapat memperbaiki dan menjalin
silaturrahmi sesama manusia dengan baik karena kerja sama tanpa silaturrahmi
yang baik tidak akan berhasil.
2.
Menciptakan
rasa saling tolong-menolong, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri
tanpa bantuan orang lain, dengan syirkah dapat saling membantu dan bekerja sama
untuk memenuhi kebutuhan hidup.
3.
Membantu
dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
4.
Menciptakan
rasa persatuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil dari makalah
fiqih tentang syirkah adalah sebagai berikut:
1. Syirkah merupakan suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat
untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan, dengan kata lain melakukan suatu
kerja sama.
2. Syirkah di bagi menjadi beberapa
jenis yaitu syirkah amlaak dan syirkah uquud, syirkah ukuud di bagi lagi menjadi
beberapa bagian yaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadah.
3. Hikmah mengadakan syirkah yaitu
untuk memenuhi kebutuhan hidup, menciptakan rasa saling tolong-menolong,
persatuan dan menyambung tali silaturrahmi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khayyath, Abdul
Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i.
Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî
al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul
Ummah.
Az-Zuhaili,
Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III.
Damaskus: Darul Fikr.
Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
[2]
An-Nabhani, Taqiyuddin. An-Nizhâm
al-Iqtishâdî fî al-Islâm,
Cetakan IV, (Beirut: Darul Ummah, 1990) hlm.146
[5]
Al-Khayyath, Abdul Aziz. Asy-Syarîkât
fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. (Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.1982) hlm. 76
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Manusia di kenal
sebagai mahluk sosial, artinya manusia selalu berinteraksi dan tidak bisa hidup
sendiri-sendiri. Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, manusia tidak akan terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia.
Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat
terpenuhi. Terkait hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap
sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah
dengan pihak lain.
Syirkah dalam
bahasa Indonesia berarti kerja sama, dan hukumnya adalah mubah atau
diperbolehkan, hal ini berdasarkan dalil Hadist Nabi Shalallahu alaihiwasalam
berupa pengakuan beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi,
orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara bersyirkah dan Nabi
Shalallahu alaihiwasalam membenarkannya..
Berdasarkan hadist tersebut
artinya manusia di perbolehkan untuk mengadakan kerja sama, baik dalam
pekerjaan maupun dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Selain membantu dalam
pemenuhan kebutuhan hidup, syirkah juga membantu manusia untuk saling
bersilaturahmi, tolong-menolong dan saling membantu sesama. Sehingga bisa
terwujud rasa persatuan.
Terdapat beberapa macam bentuk
syirkah, dan di dalam melakukan kerja sama tersebut terdapat hukum dan
aturan-aturan yang berlaku agar kedua belah pihak tidak ada yang di rugikan.
Macam-macam syirkah dan aturan-aturan yang belaku dalam syirkah tersebut akan
kami bahas dalam makalah ini agar mahasiswa lebih memahami dan mengerti tentang
syirkah.
1.2 Rumusan Masalah
Apa pengertian, hukum, rukun, dan macam-macam syirkah
?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari
kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’),
syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar);
artinya menjadi sekutu atau serikat[1].
Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga
dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ
al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis),
syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa
sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya[2].
Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah
suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan[3].
Secara istilah, yang dimaksud
dengan syirkah menurut para fukaha adalah sebagai berikut:
1. Menurut Malikiyah
Syirkah ialah izin untuk
mendayagunakan (tasharuf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama
oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk
mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk
bertasharuf.
2. Menurut Sayyid Sabiq
Syirkah adalah akad antara dua
orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
3. Menurut Muhammad al-Syarbini
al-Khatib
Syirkah adalah ketetapan hak pada
sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyur (diketahui)
4. Menurut Syihab al-Dina al-Qalyubi
wa Umaira
Syirkah adalah penetapan hak pada
sesuatu bagi dua orang atau lebih.
5. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
Akad yang berlaku pada dua orang
atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi
keuntungannya.
6. Menurut Idris Ahmad
Syirkah sama dengan syarikat
dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam
dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, keuntungan dan kerugiannya
diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.
B. Hukum Dan Rukun Syirkah
a.
Hukum
syirkah
1.
Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala:
tA$s% ô‰s)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4’n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# ‘Éóö6u‹s9 öNåkÝÕ÷èt/ 4’n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@‹Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ߊ¼ãr#yŠ $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó™$$sù ¼çm/u‘ §yzur $YèÏ.#u‘ z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ
“Dan Sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24).
Dan firman-Nya pula: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS.
An-Nisa’: 12). Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’
ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat
Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2.
Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku
keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
3.
Ijma’:
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap
legitimasi syirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat
dalam beberapa elemen darinya.”[4]
(Al-Mughni V/109).
b. Rukun syirkah
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1.
akad (ijab-kabul),
disebut juga shighat;
2.
dua pihak yang
berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3.
obyek akad (mahal),
disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)[5].
Adapun syarat sah akad ada
2 (dua) yaitu:
1.
obyek akadnya
berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan
akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2.
obyek akadnya
dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama
di antara para syarîk (mitra usaha)[6]
C.
Macam-Macam
Syirkah
Syirkah ada dua jenis:
1.
Syirkah Amlaak (Hak Milik)
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang
bergerak atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang
dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam
bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik
bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya[7].
Misalnya; si A dan si B diberi wasiat atau hadiah
berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya
dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka
berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.[8]
2.
Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah
seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah
seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah
dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik
barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang
yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-macam Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama
fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima
macam syarikah: yaitu:
1.
Syirkah
Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah
ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat[9].
Contoh syirkah
inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam
syirkah tersebut. Dalam syirkah
ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd), sedangkan barang (‘urûdh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika
barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi
modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing
menanggung kerugian sebesar 50%.
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’,
bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas
besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak
yang bersyirkah)."[10]
2.
Syirkah
‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa
konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja
pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti
pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya)[11].
Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal, Contohnya: A dan B. keduanya
adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat
pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A
mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau
keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan
terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa
pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.[12] tidak boleh berupa
pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan
(celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi
berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di
antara mitra-mitra usaha (syarîk). Syirkah
‘abdan hukumnya boleh berdasarkan
dalil as-Sunnah[13].
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, "Aku pernah berserikat dengan
Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada
Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak
membawa apa pun." [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau
membenarkannya dengan taqrîr beliau[14].
3.
Syirkah
Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan
pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl)[15].
Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak,
sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh[16]. Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb
al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak
sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan
umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah
mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama
memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan
konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A)
memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua
(misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua
bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah[17]. Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan
dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat Dalam syirkah ini,
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil).
Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.
Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh
pemodal. Jika ada keuntungan, ia
dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan
kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku
hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung
kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya[18]. Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika
kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat
yang ditetapkan oleh pemodal[19].
4.
Syirkah
Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam[20]. Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada
kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal
A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan
pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam
hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah
mudhârabah padanya[21].
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli
secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa
konstribusi modal dari masing-masing pihak[22].
Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya
pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang
dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing
memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan
keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C
(pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan
yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah
‘abdan[23].
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh,
karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan
bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah
‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam[24].
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan
bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah
kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di
masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur,
atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah
wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para
pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah)
yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan[25].
5.
Syirkah
Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah,
dan wujûh)[26]. Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah
boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah
pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya;
yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah
inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah),
atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada
B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa
masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk
berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah
‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan
memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan
C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah.
Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C
sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah
inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh
antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan
semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.[27]
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat
macam, yaitu: syirkah inân, abdân, mudhârabah, dan wujûh.
Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân,
abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah,
yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut
Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang
telah ditetapkan[28].
D.
Mengakhiri Syirkah
Hendi Suhendi menjelaskan, bahwa syirkah akan
berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
1.
Salah satu
pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak lainnya, sebab syirkah
adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang
tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak
menginginkannya lagi.
2.
Salah satu
pihak kehilangan kecakapan untuk ber-tasharruf, baik karena gila maupun karena
alasan lain.
3.
Salah satu
pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang,
yang batal hanyalah yang meninggal saja.
4.
Salah satu
piahk dibawah pengampunan.
5.
Salah satu
pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak kuasa lagi atas harta yang menjadi
saham syirkah.
6.
Modal para
anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atau nama syirkah.
E.
Hikmah Syirkah
Terdapat beberapa hikmah syirkah yaitu sebagai
berikut:
1.
Dapat
menyambung silaturahmi, dengan bersyirkah dapat memperbaiki dan menjalin
silaturrahmi sesama manusia dengan baik karena kerja sama tanpa silaturrahmi
yang baik tidak akan berhasil.
2.
Menciptakan
rasa saling tolong-menolong, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri
tanpa bantuan orang lain, dengan syirkah dapat saling membantu dan bekerja sama
untuk memenuhi kebutuhan hidup.
3.
Membantu
dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
4.
Menciptakan
rasa persatuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil dari makalah
fiqih tentang syirkah adalah sebagai berikut:
1. Syirkah merupakan suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat
untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan, dengan kata lain melakukan suatu
kerja sama.
2. Syirkah di bagi menjadi beberapa
jenis yaitu syirkah amlaak dan syirkah uquud, syirkah ukuud di bagi lagi menjadi
beberapa bagian yaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadah.
3. Hikmah mengadakan syirkah yaitu
untuk memenuhi kebutuhan hidup, menciptakan rasa saling tolong-menolong,
persatuan dan menyambung tali silaturrahmi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khayyath, Abdul
Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i.
Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî
al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul
Ummah.
Az-Zuhaili,
Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III.
Damaskus: Darul Fikr.
Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.